Maafkan, aku menulis surat untukmu lewat mimpi
semua yang kurasakan, kutumpahkan
berlembar-lembar hingga mirip suratkabar.
Kadang aku tertawa melihat kebodohan ini
sementara kau tidur pulas di sana
dan tak tahu apa-apa
aku sedang bersusah payah menempelkan perangko
memasukkan amplop ke bus surat
berhari-hari menunggui tukang pos membawanya pergi
menerka-nerka apa reaksimu setelah membaca
Tapi, itu tidak mungkin
dalam impianku
aku tidak tertarik menulis surat lagi
jelasnya, aku malas dengan urusan merepotkan itu
aku lebih suka bercakap-cakap langsung
bersenda gurau atau kalau perlu sekali-sekali meracau
Agak malu juga aku mencari-cari waktu
pura-pura bertanya ini-itu
berbasa-basi tentang cuaca atau apa saja
sesekali menyelam di keteduhan bola matamu
atau mencuri-curi rahasia hati
kadang merampok rasa simpati
sementara aku bertingkah agak payah
mencoba tegar dan seolah semuanya wajar
Ini benar keterlaluan
di rumah aku gelisah
saat bertemu buang-buang waktu
mungkin saja kau menunggu-nunggu
aku terus linglung dan ragu-ragu
mungkinkah kita sama-sama kena?
Jakarta, Jan 29, 1997
0 comments:
Post a Comment