Wednesday, September 5, 2012

Jakarta dan Malam


Denyut Batik 2 - Darminto M Sudarmo

Sebaiknya kalian tidak tertipu gemerlap lampu
Karena pesona malam Jakarta seperti gincu
Di bibir wanita-wanita ayu keluaran salon kecantikan
Yang membuat kita kaget di waktu pagi usai bangun tidur

Atau sebaiknya tidak usah kita pikirkan apa-apa
Apakah itu Jakarta di waktu malam atau siang hari
Mobil-mobil yang merayap dengan sabar dan telaten di jalan raya
Lebih lambat dari jalan keong atau bekicot
Tetap saja orang-orang Jakarta bahagia dengan mobilnya

Apakah waktu mereka terampas hampir tiga jam setiap harinya
Hanya untuk memanjakan kemacetan lalu lintas atau lainnya
Apakah mereka menghasilkan banyak karya bagi bangsanya
Itu hanya soal lain, hanya lain soal

Mengapa bersedih menyaksikan penduduk yang bahagia
Mereka sudah berkantor mewah, dengan pendingin udara pengusir gerah
Mari menari, menikmati kafe-kafe, pub-pub dan pusat hiburan
Ayolah, jangan risaukan yang lain-lain, jangan berpikir yang bukan-bukan
Biarlah setiap hari koran memuat berita pembunuhan
Setiap sore televisi menyiarkan berita kriminal
Jakarta, London, Tokyo, New York atau bukan Jakarta, bukan New York
apa bedanya?

Kota-kota besar telanjur menjadi ladang yang teramat subur
Bagi jamur-jamur, bagi pecundang, gelandangan atau siapa pun
Mereka berlomba menjangkau langit dengan mencakar-cakar udara
Pemandangan-pemandangan yang edan, sangar hingga yang hingar bingar
selalu mejadi penghias kota
Penodongan perampokan, ada di tiap kota besar yang Anda kunjungi
Jangan selalu berpikir yang bukan-bukan tentang Jakarta

Sejujurnya, hidup di Jakarta itu sungguh enak
Menyeberang jalan sembarangan tak ada yang mendenda atau menilang
Berebut jalan dan saling mendahului di jalan juga mengasyikkan
Mengapa kamu bilang Jakarta itu memprihatinkan?

Menyerobot antrean, apalagi kalau kita orang terkenal, semua orang
merelakannya

Sungguh tak habis mengerti, mengapa orang suka mengada-ada
Berpkir seolah Jakarta itu tak lebih dari kampung besar
Dengan gang-gang kumuh dan hunian penduduk yang jauh dari ideal
Berdesakan satu sama lain, berdesakan dengan barang-barang, dengan harga diri, dengan hati nurani
Tempat sampah tercecer atau menumpuk di dekat pelataran
di dekat warung kopi, di dekat hidung dan mata para penghuni

Sejujurnya, orang-orang Jakarta sedang bahagia menikmati kemajuan zaman
Menikmati mobil-mobil, menikmati komputer, home theater, lift, lantai berjalan, mengujungi kafe dan pub di waktu malam
Menikmati musik-musik barat, menikmati ayam goreng, kentang goreng
Menikmati burger, hotdog, menikmati pizza, spageti, menikmati hotel berbintang lima
Jangan berpikir yang bukan-bukan, jangan membayangkan yang tak ada

Orang-orang Jakarta juga sedang getol-getolnya menyantap siaran televisi swasta, berdiskusi tentang kelas menengah, tentang profesionalisme, tentang globalisasi
Kamu pikir mereka hanya tahu permukaan dari badai modernisme, posmodernisme?
Orang-orang Jakarta beranggapan, tak ada gejala yang lolos dari pengamatannya

Mereka tidak hanya tahu cara menghambur-hamburkan uang dan waktu
Mereka merasa telah bekerja sangat keras, mereka merasa punya hak untuk sedikit bersenang-senang; misalnya membeli tanah di pinggiran kota
dengan harga yang cukup atraktif
Lalu sambil menunggu waktu, sambil berusaha melupakan proteksi atau kemudahan-kemudahan yang pernah diperolehnya, karena orang tua, saudara atau tetangga kebetulan orang berpengaruh, mereka melakukan kegiatan semacam bakti sosial, menyumbang pakaian bekas, menyumbang duit yang dikumpulkan dari mengetuk hati para penderma; lalu, pada saat para investor tertarik mengembangkan daerah pinggiran, harga tanah pun melonjak nyaris menggapai langit
Salahkah bila mereka lalu menjual tanah sendiri itu kepada para pengembang? Tidak bukan? Menjual tanah milik sendiri, jelas bukan suatu dosa

Orang-orang Jakarta gemar merayakan keberhasilan bisnisnya dengan berlibur ke negeri orang, membeli properti di negeri orang, simpan duit juga di negeri orang
Kalau orang-orang pinggiran kota banyak kehilangan tanah, banyak yang tak punya lahan pertanian, bukankah mereka telah menjualnya?
Bukankah mereka perlu membeli simbol-simbol modernisme untuk zaman yang sudah sangat lain?
Menjual tanah untuk membeli sepeda motor, mobil atau kawin lagi, misalnya, apa salahnya?
Mengapa selalu saja ada orang yang melebih-lebihkan sesuatu, mengecil-ngecilkan sesuatu dan membuat sesuatu menjadi serba tajam dan runcing?

Biasa-biasa sajalah
Orang-orang Jakarta tampaknya semakin bahagia dengan sesuatu yang mereka miliki
Semakin bangga dengan sesuatu yang mereka ketahui
Semakin mapan dengan sesuatu yang mereka rasakan.

Jakarta, Mei 1997

0 comments:

Post a Comment

Contact